Positif
dan negait penggunaan internet dan media baru di kalangan anak-anak memang
masih menjadi perdebatan bagi banyak ahli. Namun apabila saya lihat dari
pengalaman keseharian, dampak penggunaan internet di kalangan anak kecil memang
sudah sangat terlihat. Adik sepupu saya yang belum masuk TK saja sudah lincah
mengoperasikan tablet dan bermain banyak games sejenis Angry Bird dan
kawan-kawannya. Saya juga yakin di luar sana masih banyak lagi anak kecil yang
sudah mengalami penggunaan teknologi dini seperti adik sepupu saya. Memang,
bagi sebagian orang hal ini dianggap sebagai hal yang hebat. Sehingga tidak
jarang ada orang-orang yang berkomentar, “wah, pintar ya kecil-kecil sudah bisa
main tablet”. Tapi apakah hal ini sudah sesuai? bagaimana dampak penggunaan
teknologi terlalu dini ini bagi karakteristik anak kedepannya?
Tapscott
(1977) mengatakan bahwa internet mampu menciptakan “generasi elektronik” yang
lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara social, dan
lebih mampu memahami, dibandingkan dengan generasi media sebelumnya. Kemudian Jon
Katz (1996) juga memberikan pendapat positif terhadap penggunaan internet pada
anak-anak yaitu dengan mengatakan bahwa computer justru memberikan kuasa pada
anak-anak untuk berkomunikasi satu sama lain, untuk mnegekspresikan diri
mereka, dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang sebelumnya
mungkin tidak dapat mereka lakukan dalam kehidupan masyarakat.
Tetapi disisi
lain, saya melihat justru internet memberikan kecenderungan anak-anak untuk
bersikap lebih ‘dewasa’ dibandingkan dengan umur mereka. Contohnya pada kasus
anak SD yang belakangan sedang banyak menjadi pembicaraan di internet. Yaitu tentang
sepasang kekasih yang masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, dan suatu
ketika mereka bertengkar. Kemudian si perempuan membuat status di Facebook berbunyi,
“kamu bisa nggak sih berfikir dewasa sedikit?”. Bayangkan, kata-kata tersebut
keluar dari pikiran seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah
dasar, yang seharusnya dia sedang menikmati masa kanak-kanaknya, bermain,
tertawa, belajar mengenai hal baru di sekolah, dan bukannya membahas urusan
percintaan yang sama sekali belum menjadi tempatnya. Hal ini sungguh sangat
mengenaskan. Saya pikir, inilah salah satu dampak buruk yang dapat terlihat
nyata dari penggunaan internet terlalu dini.
Lain lagi
ceritanya dengan fenomena foto selfie yang juga sedang mewabah di social media
belakangan. Baik Instagram, Facebook, Twitter, dan berbagai jejaring social lainnya
dipenuhi oleh foto-foto dengan berbagai pose yang sebagian besar dilakukan oleh
kaum hawa. Gaya-gaya foto selfie mereka juga ada tren-nya tersendiri. Misalnya
tren foto ‘duck face’ dengan gaya memonyongkan bibir, tren foto mulut ikan dengan
mulut dikerucutkan seperti mulut ikan, dan masih banyak lagi ‘keanehan’ foto
lainnya. Celakanya ternyata hal ini juga diikuti oleh anak-anak yang masih di
bawah umur, baik TK, SD, bahkan yang masih belum sekolah. Anak-anak seumur itu
saya pikir maish berada pada masa-masa dimana mereka sellau menirukan apa yang
dilihat dan apa yang dilakukan orang dewasa. Yang ada dalam pikiran mereka
adalah, apabila orang dewasa melakukan hal tersebut, maka berarti hal itu
benar.
Adik perempuan
teman saya yang masih belum sekolah, sudah pintar selfie sendiri dengan
berbagai pose. Mulai dari tersenyum, tertawa, monyong, cemberut, dan berbagai
gaya yang bahkan mungkin tidak terpikir oleh orang dewasa pada umumnya. Kemudian
foto-foto tersebut ia upload di akun social media yang juga sudah ia punyai
sendiri. Namun teman saya itu justru memamerkannya dengan bangga kepada saya
dan teman-temannya yang lain bahwa, “ini lho adik saya kecil-kecil sudah pintar
gaya.”. tapi jika saya pikir, apakah itu sudah pantas?
Memang
jika dilihat dari sisi positifnya, penggunaan internet diperlukan sebagai media
pembelajaran bagi anak-anak. Ada banyak sekali aplikasi-aplikasi belajar, ilmu
pengetahuan yang bisa tinggal di search di Google, permainan yang tidak sekedar
hanya mengajak anak untuk bermain namun juga sekaligus bisa menjadi media
pembelajaran. Seperti yang disebutkan oleh Seymor Papert (1933) bahwa computer membawa
bentuk media baru untuk pembelajaran yang melebihi dari media-media sebelumnya
seperti media cetak dan televisi. Namun, mengenalkan media baru seperti
internet sejak terlalu dini menurut saya masih belum tepat. Anak-anak masih
belum mengenal betul tentang mana hal yang baik dan mana yang buruk. Tentang apa
yang benar, dan mana yang salah. Yang mereka lakukan adalah mengikuti dan
mencontoh perilaku orang dewasa yang mereka lihat.
Pengenalan
internet dan media baru bisa saja dilakukan mulai mereka memasuki usia sekolah.
Itupun orang tua harus ikut terlibat dan berperan penting dalam setiap
penggunaannya. Bimbinglah anak-anak mengenal internet hanya benar-benar untuk
media belajar. Misalnya untuk bermain aplikasi permainan yang mengandung unsur edukatif
seperti menyusun puzzle, belajar membaca, mengenal huruf dan berhitung bisa
menjadi pilihan yang tepat untuk mengajak anak mengenal teknologi. Membiarkan anak
bebas mengakses internet sendiri, dan membelikannya smartphone pribadi saya rasa
masih belumlah tepat. Apalagi membiarkan mereka memiliki akun social media
sendiri yang seharusnya bukan ranah bermainnya. Hal ini dapat memicu
karakteristik anak yang jadi dewasa sebelum umurnya, dan bahkan bisa mengancam
timbulnya resiko yang lebih berat dari itu.
Referensi : Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media : Social Shaping dan Social
Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 3 : Childern and New Media
No comments:
Post a Comment