Berbicara mengenai tiga isu besar yang menjadi pokok bahasan yaitu
akses, keterlibatan komunitas dan interaksi social serta pembentukan ekspresi,
ketiganya selalu dikaitkan dengan dua perspektif besar yaitu perspektif optimis
dan perspektif pesimis. Perspektif pesimis lebih memandang pada kekhawatiran
efek penggunaan internet dan teknologi, sedangkan perspektif optimis lebih
memandang penggunaan internet dan teknologi sebagai hal yang positif. Jika
dilihat dari kedua perspektif tersebut dan diterapkan pada konteks Indonesia
saat ini, sepertinya lebih mengarah pada perspektif pesimis.
Misalnya saja seperti isu mengenai akses yang dipandang melalui
perspektif pesimis dan optimis. Persepektif pesimis lebih memandang
kekhawatiran mengenai akses internet yang tidak bisa dilakukan secara merata
sehingga kemudian berdampak pada manfaat yang diterima juga tidak merata. Hal
ini bisa dilihat jika di Indonesia, ketidakmerataan tersebut lebih dikarenakan alasan
aksesibilitas. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia merupakan Negara dengan
kondisi geografis yang tidak merata. Dataran rendah yang tersebar luas di pulau
Jawa, hutan rimba yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, sampai relief yang
terjal ditemukan di daerah Papua. Untuk itu tidak heran apabila tidak semua
orang bisa mengases internet dengan mudah di Indonesia. Jangankan di daerah
terpencil seperti Kalimantan dan Papua, bahkan di Jawa sendiri masih banyak
titik-titik lokasi yang tidak memungkinkan terjangkaunya akses internet.
Orang-orang harus pergi ke kota yang memiliki jaringan penuh untuk dapat
mengakses internet dengan lancar.
Sebenarnya tidak hanya pada alasan aksesibilitas saja, dari
karakteristik masyarakatnya juga banyak mempengaruhi. Indonesia sendiri
tergolong dalam jenis masyarakat plural atau majemuk, dimana kita bisa
menemukan keberagaman suku bangsa dengan karakteristik yang berlainan. Sampai
sekarang pun masih dapat kita jumpai suku-suku tertentu khususnya di daerah
terpencil yang lebih memilih untuk memegang erat nilai-nilai adat setempat dan
cenderung menutup diri dari masuknya perkembangan teknologi dari luar. Sebut
saja seperti di suku Baduy dalam, dan kampong Naga di Tasikmalaya. Mereka
bahkan memilih untuk tidak menggunakan listrik, apalagi internet. Alasan-alasan
inilah yang membuat mereka cenderung tidak memiliki kesempatan untuk dapat
berpartisipasi dengan kegiatan yang mengharuskan adanya pemanfaatan internet.
Kemudian jika diambil dari contoh luar dapat disebutkan seperti
pada penelitian yang sudah banyak dilakukan dan menunjukan bahwa masyarakat
minoritas misalnya orang Afrika, Amerika dan Hispanik non putih (kulit hitam)
memiliki kemungkinan yang kecil untuk memiliki komputer sendiri di rumah, oleh
karena itu mereka tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
yang membutuhkan internet (Neu et al, 1999). Dilihat dari hal-hal tersebut maka
tidak dapat dipungkiri bahwa perspektif pesimis memiliki pandangan yang benar
terhadap kekhawatiran akses internet yang tidak merata.
Selanjutnya mengenai pengaruh internet pada masyarakat dalam
partisipasi politik yang dilihat dari perspektif pesimis. Memang kehadiran
internet sangatlah membantu masyarakat bisa lebih memperoleh informasi yang
luas mengenai pemilu, partai politik, dan segala aspek yang terkait di
dalamnya. Namun apakah hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi
mereka? Fallows (2000) berargumen bahwa
dampak dari internet terhadap politik belum terlihat. Kita ambil saja contoh
nyatanya di Indonesia pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Hampir semua website,
bahkan jejaring social, serta situs-situs internet lainnya ramai membicarakan
mengenai kedua kandidat presiden yang akan memimpin Indonesia selanjutnya.
Melalui adanya internet ini memang menjadikan semua orang bebas berpendapat dan
mengeluarkan opini mereka, berkomentar, serta membuat postingan-postingan pemikiran
mereka mengenai mana calon kandidat terkuat menurut versi mereka maisng-masing.
Namun apakah hanya dengan berkomentar dan mengeluarkan opini saja cukup untuk
dikatakan sebagai bentuk partisipasi yang aktif? Tentu saja tidak.
Shapiro dan Leone (1999) menganggap
bahwa kebebasan berbicara akan terkena dampak buruk dengan berkembangnya
internet, karena masalah akses dan 'ekspose' atau keterbukaan. Pertama,
orang-orang akan kesulitan dalam menemukan khalayak untuk dijangkau karena
banyak orang yang tidak mau untuk mendengarkan. Van Dijk (1999) percaya bahwa
akan ada banyak informasi di internet yang akan sulit dibuktikan kebenarannya
yang nantinya akan mengarah pada kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Orang-orang kebanyakan tidak akan merespon opini yang ada atau bahkan mereka
hanya akan memilih dan menerima informasi yang menarik bagi mereka. Kedua,
tidak setiap orang punya sumberdaya untuk menyampaikan suara mereka, seperti
tidak adanya keterampilan untuk menggunakan teknologi itu sendiri, yang sama
saja membatasi kebebasan berbicara/bersuara mereka.
Selain itu kemunculan internet sebagai New Media juga
memberikan kendala dalam penggunaannya. Seperti yang disebutkan oleh Van Dijk (1999) bahwa
ada empat kendala yang mempengaruhi penggunaan New Media atau media baru. Antara lain :
1.
Orang/pengguna. Biasanya
terjadi pada orang-orang tua atau orang lanjut usia yang mengalami kesulitan
dalam mengikuti perkembangan teknologi. Atau juga orang-orang yang memiliki
pengalalaman pertama yang buruk tentang teknologi tersebut.
2.
Kesulitan atau tidak
adanya akses untuk komputer dan jaringan.
3.
Kurangnya keramahan
pengguna dan gaya penggunaan menarik
4.
Kurangnya kesempatan
penggunaan yang signifikan.
Hal-hal tersebut dapat
memunculkan adanya kesenjangan teknologi di dalam masyarakat khususnya di
Indonesia yang terdiri dari masyarakat yang terbagi dalam banyak kalangan dan
kelas social seperti gender, rasa tau suku, tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan, kecakapan teknis, dan faktur usia. Kebanyakan orang yang sudah
berusia lanjut merasa bahwa teknologi bukanlah lagi bagian dari dunianya.
Sehingga ketika mereka diperkenalkan dengan teknologi, mereka cenderung
menghindar, dan ketika mereka akhirnya terpaksa harus dihadapkan pada situasi
yang mengharuskan dirinya menggunakan teknologi, disitulah mereka mendaptkan
masalah. Mereka akan mengalami pengalaman buruk saat pertama kali berinteraksi
dengan teknologi.
Contoh kasus ini terjadi
pada orang tua saya sendiri. Yaitu pada ibu saya. Beliau memang belum berada
pada usia yang terlalu tua. Masih berkisar pada usia ke 40-an. Namun beliau
sudah cenderung memlih menghindar dari adanya teknologi. Ibu saya menggunakan
telepon seluler, namun masih dalam tipe yang sederhana. Yang penting bisa
menelepon dan sms, katanya. Terkadang ibu saya dihadapkan pada situasi dimana
ia harus membuka internet, menjalankan laptop, atau berkomunikasi lewat
aplikais chatting seperti BBM. Beliau sebenarnya beberapa kali ingin mencoba
untuk belajar menggunakan teknologi-teknologi tersebut. Namun sayangnya, setiap
kali ibu saya mencoba mulai menjalankan laptop, atau membuka internet, selalu
saja belau melakukan kesalahan yang kemudian membuatnya menjadi error. Dari
‘pengalaman buruk’ itulah kemudian ibu saya memilih untuk tidak lagi
mencobanya. Beliau beranggapan bahwa semua leptop, internet, dan aplikasi
nantinya akan berujung rusak apabila ia gunakan.
Referensi
:
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and
Social Consequences of ITCs, Sage
Publication Ltd. London. Chapter 4 : Perspective on Internet Use: Access,
Involvement an Interaction
nice share :)
ReplyDelete