Friday, April 3, 2015

Perspektif Pesimis Penggunaan Internet


Berbicara mengenai tiga isu besar yang menjadi pokok bahasan yaitu akses, keterlibatan komunitas dan interaksi social serta pembentukan ekspresi, ketiganya selalu dikaitkan dengan dua perspektif besar yaitu perspektif optimis dan perspektif pesimis. Perspektif pesimis lebih memandang pada kekhawatiran efek penggunaan internet dan teknologi, sedangkan perspektif optimis lebih memandang penggunaan internet dan teknologi sebagai hal yang positif. Jika dilihat dari kedua perspektif tersebut dan diterapkan pada konteks Indonesia saat ini, sepertinya lebih mengarah pada perspektif pesimis.
Misalnya saja seperti isu mengenai akses yang dipandang melalui perspektif pesimis dan optimis. Persepektif pesimis lebih memandang kekhawatiran mengenai akses internet yang tidak bisa dilakukan secara merata sehingga kemudian berdampak pada manfaat yang diterima juga tidak merata. Hal ini bisa dilihat jika di Indonesia, ketidakmerataan tersebut lebih dikarenakan alasan aksesibilitas. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia merupakan Negara dengan kondisi geografis yang tidak merata. Dataran rendah yang tersebar luas di pulau Jawa, hutan rimba yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, sampai relief yang terjal ditemukan di daerah Papua. Untuk itu tidak heran apabila tidak semua orang bisa mengases internet dengan mudah di Indonesia. Jangankan di daerah terpencil seperti Kalimantan dan Papua, bahkan di Jawa sendiri masih banyak titik-titik lokasi yang tidak memungkinkan terjangkaunya akses internet. Orang-orang harus pergi ke kota yang memiliki jaringan penuh untuk dapat mengakses internet dengan lancar.
Sebenarnya tidak hanya pada alasan aksesibilitas saja, dari karakteristik masyarakatnya juga banyak mempengaruhi. Indonesia sendiri tergolong dalam jenis masyarakat plural atau majemuk, dimana kita bisa menemukan keberagaman suku bangsa dengan karakteristik yang berlainan. Sampai sekarang pun masih dapat kita jumpai suku-suku tertentu khususnya di daerah terpencil yang lebih memilih untuk memegang erat nilai-nilai adat setempat dan cenderung menutup diri dari masuknya perkembangan teknologi dari luar. Sebut saja seperti di suku Baduy dalam, dan kampong Naga di Tasikmalaya. Mereka bahkan memilih untuk tidak menggunakan listrik, apalagi internet. Alasan-alasan inilah yang membuat mereka cenderung tidak memiliki kesempatan untuk dapat berpartisipasi dengan kegiatan yang mengharuskan adanya pemanfaatan internet.
Kemudian jika diambil dari contoh luar dapat disebutkan seperti pada penelitian yang sudah banyak dilakukan dan menunjukan bahwa masyarakat minoritas misalnya orang Afrika, Amerika dan Hispanik non putih (kulit hitam) memiliki kemungkinan yang kecil untuk memiliki komputer sendiri di rumah, oleh karena itu mereka tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang membutuhkan internet (Neu et al, 1999). Dilihat dari hal-hal tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa perspektif pesimis memiliki pandangan yang benar terhadap kekhawatiran akses internet yang tidak merata.
Selanjutnya mengenai pengaruh internet pada masyarakat dalam partisipasi politik yang dilihat dari perspektif pesimis. Memang kehadiran internet sangatlah membantu masyarakat bisa lebih memperoleh informasi yang luas mengenai pemilu, partai politik, dan segala aspek yang terkait di dalamnya. Namun apakah hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi mereka? Fallows (2000) berargumen bahwa dampak dari internet terhadap politik belum terlihat. Kita ambil saja contoh nyatanya di Indonesia pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Hampir semua website, bahkan jejaring social, serta situs-situs internet lainnya ramai membicarakan mengenai kedua kandidat presiden yang akan memimpin Indonesia selanjutnya. Melalui adanya internet ini memang menjadikan semua orang bebas berpendapat dan mengeluarkan opini mereka, berkomentar, serta membuat postingan-postingan pemikiran mereka mengenai mana calon kandidat terkuat menurut versi mereka maisng-masing. Namun apakah hanya dengan berkomentar dan mengeluarkan opini saja cukup untuk dikatakan sebagai bentuk partisipasi yang aktif? Tentu saja tidak.
Shapiro dan Leone (1999) menganggap bahwa kebebasan berbicara akan terkena dampak buruk dengan berkembangnya internet, karena masalah akses dan 'ekspose' atau keterbukaan. Pertama, orang-orang akan kesulitan dalam menemukan khalayak untuk dijangkau karena banyak orang yang tidak mau untuk mendengarkan. Van Dijk (1999) percaya bahwa akan ada banyak informasi di internet yang akan sulit dibuktikan kebenarannya yang nantinya akan mengarah pada kesalahan dalam pengambilan keputusan. Orang-orang kebanyakan tidak akan merespon opini yang ada atau bahkan mereka hanya akan memilih dan menerima informasi yang menarik bagi mereka. Kedua, tidak setiap orang punya sumberdaya untuk menyampaikan suara mereka, seperti tidak adanya keterampilan untuk menggunakan teknologi itu sendiri, yang sama saja membatasi kebebasan berbicara/bersuara mereka.
Selain itu kemunculan internet sebagai New Media juga memberikan kendala dalam penggunaannya. Seperti yang disebutkan oleh Van Dijk (1999) bahwa ada empat kendala yang mempengaruhi penggunaan New Media atau media baru. Antara lain :
1.      Orang/pengguna. Biasanya terjadi pada orang-orang tua atau orang lanjut usia yang mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan teknologi. Atau juga orang-orang yang memiliki pengalalaman pertama yang buruk tentang teknologi tersebut.
2.      Kesulitan atau tidak adanya akses untuk komputer dan jaringan.
3.      Kurangnya keramahan pengguna dan gaya penggunaan menarik
4.      Kurangnya kesempatan penggunaan yang signifikan.
Hal-hal tersebut dapat memunculkan adanya kesenjangan teknologi di dalam masyarakat khususnya di Indonesia yang terdiri dari masyarakat yang terbagi dalam banyak kalangan dan kelas social seperti gender, rasa tau suku, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, kecakapan teknis, dan faktur usia. Kebanyakan orang yang sudah berusia lanjut merasa bahwa teknologi bukanlah lagi bagian dari dunianya. Sehingga ketika mereka diperkenalkan dengan teknologi, mereka cenderung menghindar, dan ketika mereka akhirnya terpaksa harus dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dirinya menggunakan teknologi, disitulah mereka mendaptkan masalah. Mereka akan mengalami pengalaman buruk saat pertama kali berinteraksi dengan teknologi.
Contoh kasus ini terjadi pada orang tua saya sendiri. Yaitu pada ibu saya. Beliau memang belum berada pada usia yang terlalu tua. Masih berkisar pada usia ke 40-an. Namun beliau sudah cenderung memlih menghindar dari adanya teknologi. Ibu saya menggunakan telepon seluler, namun masih dalam tipe yang sederhana. Yang penting bisa menelepon dan sms, katanya. Terkadang ibu saya dihadapkan pada situasi dimana ia harus membuka internet, menjalankan laptop, atau berkomunikasi lewat aplikais chatting seperti BBM. Beliau sebenarnya beberapa kali ingin mencoba untuk belajar menggunakan teknologi-teknologi tersebut. Namun sayangnya, setiap kali ibu saya mencoba mulai menjalankan laptop, atau membuka internet, selalu saja belau melakukan kesalahan yang kemudian membuatnya menjadi error. Dari ‘pengalaman buruk’ itulah kemudian ibu saya memilih untuk tidak lagi mencobanya. Beliau beranggapan bahwa semua leptop, internet, dan aplikasi nantinya akan berujung rusak apabila ia gunakan.


Referensi :
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 4 : Perspective on Internet Use: Access, Involvement an Interaction

1 comment: